1.
Isi Legenda
Legenda Desa Adat Penglatan
Adapun legenda tentang
terbentuknya Desa Adat Penglatan sungguh sangat sulit saya dapatkan karena
tidak adanya peninggalan-peninggalan yang autentik yang mewarisi, namun dari
penuturan para sesepuh Desa Penglatan, itulah yang saya himpun, kumpulkan serta
saya perbandingkan dengan bukti-bukti nyata yang ada sekarang baik itu berupa
bangunan maupun berupa tata pelaksanaan upacara keagamaan dapat disimpulkan
sebagai berikut :
Adapaun Desa Adat
Penglatan merupakan pecahan dari Desa Adat Bale Agung Tenaon yang berada di
wilayah keprebekelan Alasangker. Desa Adat Bale Agung Tenaon. berdiri pada
jaman pemerintahan I Gusti Ngurah Panji Sakti sekitar tahun 1619-1717.
Lama-kelamaan penduduk semakin berkembang sehingga dirasakan makin padat. Konon
ada tujuh orang tokoh masyarakat yang bermaksud untuk mencari tempat pemukiman
baru dan membuat persawahan berarah barat laut Desa Adat Bale Agung Tenaon.
Dari ke tujuh tokoh orang tersebut masing-masing mempunyai keahlian tersendiri,
disamping kemampuan bercocok tanam ada ahli dibidang upacara, kesenian, ilmu
batin, spiritual keagamaan, dan yang paling menonjol seorang tokoh yang
dipandang sebagai pemimpin yang ahli dibidang ilmu pengobatan terutama
mengobati penyakit karena ilmu hitam. Sungguh sangat ahli dalam hal mengobati
setiap orang sakit, dan sebagai bahan baku pengobatannya pasti mempergunakan
kulit kayu yang disebut bahan basa Bali dengan campuran-campuran bahan
tertentu. Setiap mengobati orang sakit dengan ringan dia menyatakan : “Babakan
anu anggon loloh” atau “Babakan anu anggon boreh”. Sehingga setiap kulit kayu
yang ada disekitar tabib itu sangat manjur bisa menyembuhkan asal keluar dari
mulut tabib itu, sehingga dia diberi gelar balian sakti.
Sepertinya semua
pohon-pohonan yang ada disekitar Si tabib itu bisa manjur dipakai menyembuhkan
segala penyakit asal diucapkan oleh Si balian sakti tersebut. Dulu di tengah
kuburan Banjar Adat Kajanan, Desa Adat Penglatan terdapat pohon kayu yang
disebut kayu “jelema” yang kalau dikupas getahnya berwarna merah seperti darah
sangat manjur dipergunakan bahan baku mengobati sakit karena ilmu hitam.
Sehingga timbullah ungkapan bahasa Bali disebut cecimpedan “Apa duk Desane di
kayu melesles” jawabannya adalah penglatan. Penjelasannya: babakan taru adalah
kulit kayu yang dikupas dari pohonnya dalam arti dari pohon kayu yang dikupas
(dikelet). Jadi penglatan sebenarnya berasal dari kata “kelet” yaitu kayu yang
dikupas. Mendapat awalan pa dan akhiran an, menjadi “pekeletaan” kemudian
disandikan menjadi pengelatan atau penglatan. Untuk itu desa kayu melesles
masih juga diucapkan, namun hanya di parahyangan Ida Bhatara saat piodalan
menyambut kedatangan Ida Bhatara.
Kemudian ketika ke
tujuh tokoh sedang membangun desanya datang seorang bangsawan terah arya belog
ke desa tersebut, beliau disambut dengan senang hati oleh Si balian sakti
beserta teman-temannya. Serta memohon agar bangsawan tersebut mau bertempat
tinggal dan bersedia memimpin ke tujuh tokoh tersebut dan bangsawan tersebut
menerima permohonan ke tujuh tokoh itu serta bersedia bertempat tinggal di Desa
Penglatan memimpin pembangunan Desa Penglatan. Selanjutnya, terutama dalam
pembangunan pura, pemukiman, kesenian, dan lain-lain. Sampai sekarang
diabadikan atau dilestarikan di Desa Adat Penglatan dengan sebutan saih pitu
yang beranggotakan 8 orang (7 orang tokoh ditambah 1 orang bangsawan tersebut).
Saih pitu itu merupakan ulu desa (para ulu desa) yang sampai sekarang
peranannya adalah memberikan nasehat dan petunjuk utamanya dalam upacara-upacara
keagamaan dan pembangunan Desa pada umumnya.
2.
Analisis Wacana Dalam Perspektif Antropologi
Linguistik
Analisis wacana dalam perspektif ini merupakan
analisis tentang realitas sosial-budaya yang disimbolkan melalui bahasa. Hal
ini mencerminkan nilai-nilai budaya yang terselip dalam ujaran atau ungkapan kebahasaan.
Nilai budaya tersebut terwujud dalam suatu bentuk kearifan dan kehati-hatian,
sopan-santun, kewaspadaan, etika, gotong-royong, musyawarah mufakat, keadilan,
adaptasi, religius, dan estetika. Nilai budaya tersebut selanjutnya dapat
mencerminkan pandangan suatu masyarakat. Hal ini melahirkan suatu kesan tentang
“bahasa menunjukkan bangsa”. Setiap jengkal bahasa, setiap untaian tuturan,
maupun sepenggal wacana merupakan simbolisasi dari nilai-nilai budaya yang
dianut oleh masyarakat penuturnya. Berbicara masalah nilai-nilai sosial-budaya
yang ada disetiap daerah, khususnya di
daerah Desa Penglatan terdapat beberapa nilai sosial-budaya dalam perspektif antropologi linguistik yang ada
hubungannya dengan “Legenda Desa Penglatan”, antara lain sebagai berikut :
a.
Nilai Kearifan
Dalam “Legenda Desa
Penglatan” terdapat nilai sosial-budaya dalam perspektif antropologi linguistik
yang muncul yaitu nilai kearifan, karena kearifan sama artinya dengan (Kebijaksanaan, Kecendikiaan, dan Kepandaian). Dalam
isi legenda ini ada pernyataan yang mendukung bahwa terdapat nilai kearifan
yang muncul karena ada tujuh tokoh orang, masing-masing
mempunyai keahlian tersendiri, disamping kemampuan bercocok tanam ada ahli
dibidang upacara, kesenian, ilmu batin, spiritual keagamaan, dan yang paling
menonjol seorang tokoh yang dipandang sebagai pemimpin yang ahli dibidang ilmu
pengobatan terutama mengobati penyakit karena ilmu hitam. Hal itulah yang
menjadi alas an bahwa dalam “Legenda Desa Penglatan” terdapat nilai sosial-budaya dalam perspektif
antropologi linguistik yaitu nilai kearifan.
b.
Nilai Kesopanan dan Nilai Etika
Selanjutnya nilai
sosial-budaya dalam perspektif antropologi linguistik yang muncul dalam
“Legenda Desa Penglatan” yaitu nilai kesopanan dan nilai etika, karena ada
pernyataan yang mendukung : ketika ke tujuh tokoh sedang membangun desanya
datang seorang bangsawan terah arya belog ke desa tersebut, beliau disambut
dengan senang hati, ramah dan penuh dengan sopan-santun oleh Si balian sakti
beserta teman-temannya. Hal itulah yang menjadi alasan bahwa dalam “Legenda
Desa Penglatan” terdapat nilai kesopanan dan nilai etika yang muncul.
c.
Nilai Gotong-royong dan Nilai Estetika
Kemudian nilai
sosial-budaya lain yang muncul dalam “Legenda Desa Penglatan” adalah nilai
gotong-royong dan nilai estetika. Mengapa terdapat nilai gotong-royong dan
nilai estetika karena, ketika ke tujuh tokoh terutama dalam membangunan pura,
pemukiman, kesenian, dan lain-lain, itu dikerjakan dengan cara bekerja-sama
atau disebut dengan gotong royong. Mengenai nilai estetika, pada saat membangun
pura, pemukiman, dan kesenian dapat menciptakan suatu hasil karya yaitu pura,
dan pemukiman yang sangat bagus dan banyak mengandung nilai seni, atau
keindahan. Hal itulah yang mendukung bahwa “Legenda Desa Penglatan” mengandung
nilai gotong-royong dan estetika.
d. Nilai
Religius
Adapun nilai religius
yang muncul di “Legenda Desa Penglatan”. Karena ada yang namanya saih pitu yang
merupakan ulu desa (para ulu desa) yang sampai sekarang peranannya adalah
memberikan nasehat dan petunjuk utamanya dalam upacara-upacara keagamaan. Karena
saih pitu (ulu desa) bisa memberikan petunjuk dalam upacara-upacara keagamaan,
maka dari itu dalam “Legenda Desa Penglatan” terdapat nilai religius yang
muncul, karena nilai ini ada hubungannya dengan keagamaan, dan tuhan (Ida Sang
Hyang Widhi Wasa).

Tidak ada komentar:
Posting Komentar