Pages

Jumat, 12 Desember 2014

Legenda Desa Adat Penglatan



1.  Isi Legenda
Legenda Desa Adat Penglatan
Adapun legenda tentang terbentuknya Desa Adat Penglatan sungguh sangat sulit saya dapatkan karena tidak adanya peninggalan-peninggalan yang autentik yang mewarisi, namun dari penuturan para sesepuh Desa Penglatan, itulah yang saya himpun, kumpulkan serta saya perbandingkan dengan bukti-bukti nyata yang ada sekarang baik itu berupa bangunan maupun berupa tata pelaksanaan upacara keagamaan dapat disimpulkan sebagai berikut :
Adapaun Desa Adat Penglatan merupakan pecahan dari Desa Adat Bale Agung Tenaon yang berada di wilayah keprebekelan Alasangker. Desa Adat Bale Agung Tenaon. berdiri pada jaman pemerintahan I Gusti Ngurah Panji Sakti sekitar tahun 1619-1717. Lama-kelamaan penduduk semakin berkembang sehingga dirasakan makin padat. Konon ada tujuh orang tokoh masyarakat yang bermaksud untuk mencari tempat pemukiman baru dan membuat persawahan berarah barat laut Desa Adat Bale Agung Tenaon. Dari ke tujuh tokoh orang tersebut masing-masing mempunyai keahlian tersendiri, disamping kemampuan bercocok tanam ada ahli dibidang upacara, kesenian, ilmu batin, spiritual keagamaan, dan yang paling menonjol seorang tokoh yang dipandang sebagai pemimpin yang ahli dibidang ilmu pengobatan terutama mengobati penyakit karena ilmu hitam. Sungguh sangat ahli dalam hal mengobati setiap orang sakit, dan sebagai bahan baku pengobatannya pasti mempergunakan kulit kayu yang disebut bahan basa Bali dengan campuran-campuran bahan tertentu. Setiap mengobati orang sakit dengan ringan dia menyatakan : “Babakan anu anggon loloh” atau “Babakan anu anggon boreh”. Sehingga setiap kulit kayu yang ada disekitar tabib itu sangat manjur bisa menyembuhkan asal keluar dari mulut tabib itu, sehingga dia diberi gelar balian sakti.
Sepertinya semua pohon-pohonan yang ada disekitar Si tabib itu bisa manjur dipakai menyembuhkan segala penyakit asal diucapkan oleh Si balian sakti tersebut. Dulu di tengah kuburan Banjar Adat Kajanan, Desa Adat Penglatan terdapat pohon kayu yang disebut kayu “jelema” yang kalau dikupas getahnya berwarna merah seperti darah sangat manjur dipergunakan bahan baku mengobati sakit karena ilmu hitam. Sehingga timbullah ungkapan bahasa Bali disebut cecimpedan “Apa duk Desane di kayu melesles” jawabannya adalah penglatan. Penjelasannya: babakan taru adalah kulit kayu yang dikupas dari pohonnya dalam arti dari pohon kayu yang dikupas (dikelet). Jadi penglatan sebenarnya berasal dari kata “kelet” yaitu kayu yang dikupas. Mendapat awalan pa dan akhiran an, menjadi “pekeletaan” kemudian disandikan menjadi pengelatan atau penglatan. Untuk itu desa kayu melesles masih juga diucapkan, namun hanya di parahyangan Ida Bhatara saat piodalan menyambut kedatangan Ida Bhatara.
Kemudian ketika ke tujuh tokoh sedang membangun desanya datang seorang bangsawan terah arya belog ke desa tersebut, beliau disambut dengan senang hati oleh Si balian sakti beserta teman-temannya. Serta memohon agar bangsawan tersebut mau bertempat tinggal dan bersedia memimpin ke tujuh tokoh tersebut dan bangsawan tersebut menerima permohonan ke tujuh tokoh itu serta bersedia bertempat tinggal di Desa Penglatan memimpin pembangunan Desa Penglatan. Selanjutnya, terutama dalam pembangunan pura, pemukiman, kesenian, dan lain-lain. Sampai sekarang diabadikan atau dilestarikan di Desa Adat Penglatan dengan sebutan saih pitu yang beranggotakan 8 orang (7 orang tokoh ditambah 1 orang bangsawan tersebut). Saih pitu itu merupakan ulu desa (para ulu desa) yang sampai sekarang peranannya adalah memberikan nasehat dan petunjuk utamanya dalam upacara-upacara keagamaan dan pembangunan Desa pada umumnya.

2.  Analisis Wacana Dalam Perspektif Antropologi Linguistik
Analisis wacana dalam perspektif ini merupakan analisis tentang realitas sosial-budaya yang disimbolkan melalui bahasa. Hal ini mencerminkan nilai-nilai budaya yang terselip dalam ujaran atau ungkapan kebahasaan. Nilai budaya tersebut terwujud dalam suatu bentuk kearifan dan kehati-hatian, sopan-santun, kewaspadaan, etika, gotong-royong, musyawarah mufakat, keadilan, adaptasi, religius, dan estetika. Nilai budaya tersebut selanjutnya dapat mencerminkan pandangan suatu masyarakat. Hal ini melahirkan suatu kesan tentang “bahasa menunjukkan bangsa”. Setiap jengkal bahasa, setiap untaian tuturan, maupun sepenggal wacana merupakan simbolisasi dari nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat penuturnya. Berbicara masalah nilai-nilai sosial-budaya yang ada disetiap  daerah, khususnya di daerah Desa Penglatan terdapat beberapa nilai sosial-budaya dalam  perspektif antropologi linguistik yang ada hubungannya dengan “Legenda Desa Penglatan”, antara lain sebagai berikut :
a.       Nilai Kearifan
Dalam “Legenda Desa Penglatan” terdapat nilai sosial-budaya dalam perspektif antropologi linguistik yang muncul yaitu nilai kearifan, karena kearifan sama artinya dengan (Kebijaksanaan, Kecendikiaan, dan Kepandaian). Dalam isi legenda ini ada pernyataan yang mendukung bahwa terdapat nilai kearifan yang muncul karena ada tujuh tokoh orang, masing-masing mempunyai keahlian tersendiri, disamping kemampuan bercocok tanam ada ahli dibidang upacara, kesenian, ilmu batin, spiritual keagamaan, dan yang paling menonjol seorang tokoh yang dipandang sebagai pemimpin yang ahli dibidang ilmu pengobatan terutama mengobati penyakit karena ilmu hitam. Hal itulah yang menjadi alas an bahwa dalam “Legenda Desa Penglatan”  terdapat nilai sosial-budaya dalam perspektif antropologi linguistik yaitu nilai kearifan.
b.      Nilai Kesopanan dan Nilai Etika
Selanjutnya nilai sosial-budaya dalam perspektif antropologi linguistik yang muncul dalam “Legenda Desa Penglatan” yaitu nilai kesopanan dan nilai etika, karena ada pernyataan yang mendukung : ketika ke tujuh tokoh sedang membangun desanya datang seorang bangsawan terah arya belog ke desa tersebut, beliau disambut dengan senang hati, ramah dan penuh dengan sopan-santun oleh Si balian sakti beserta teman-temannya. Hal itulah yang menjadi alasan bahwa dalam “Legenda Desa Penglatan” terdapat nilai kesopanan dan nilai etika yang muncul.
c.       Nilai Gotong-royong dan Nilai Estetika
Kemudian nilai sosial-budaya lain yang muncul dalam “Legenda Desa Penglatan” adalah nilai gotong-royong dan nilai estetika. Mengapa terdapat nilai gotong-royong dan nilai estetika karena, ketika ke tujuh tokoh terutama dalam membangunan pura, pemukiman, kesenian, dan lain-lain, itu dikerjakan dengan cara bekerja-sama atau disebut dengan gotong royong. Mengenai nilai estetika, pada saat membangun pura, pemukiman, dan kesenian dapat menciptakan suatu hasil karya yaitu pura, dan pemukiman yang sangat bagus dan banyak mengandung nilai seni, atau keindahan. Hal itulah yang mendukung bahwa “Legenda Desa Penglatan” mengandung nilai gotong-royong dan estetika.
d.      Nilai Religius
Adapun nilai religius yang muncul di “Legenda Desa Penglatan”. Karena ada yang namanya saih pitu yang merupakan ulu desa (para ulu desa) yang sampai sekarang peranannya adalah memberikan nasehat dan petunjuk utamanya dalam upacara-upacara keagamaan. Karena saih pitu (ulu desa) bisa memberikan petunjuk dalam upacara-upacara keagamaan, maka dari itu dalam “Legenda Desa Penglatan” terdapat nilai religius yang muncul, karena nilai ini ada hubungannya dengan keagamaan, dan tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About